Ketika Siswa Marah Kepada Gurunya
Guru marah kepada siswa itu biasa. Tapi kalau siswa marah kepada
gurunya? Bisa juga. Saya pernah membagikan pengalaman ketika siswa marah kepada
saya di tulisan. Dari pengalaman itu, saya benar-benar mendapatkan pelajaran
besar dalam mengajar. Apa saja?
Pertama. Siapkan kondisi fisik sebelum mengajar
agar benar-benar prima.
Kondisi
fisik memang sangat mempengaruhi aktivitas kita, baik emosi, daya pikir atau
kekuatan tubuh itu sendiri. Dalam hal mengajar, fisik siswa maupun guru harus
benar-benar diperhatikan. Pengalaman mengecawakan siswa itu bisa saya jelaskan
seperti berikut ini.
Saat itu siswa benar-benar lelah. Ia pulang sampai sore dari
sekolah. Sementara di lain sisi, saya sebagai guru juga tak kalah lelah.
Seharian berada di kampus untuk menyelesaikan tugas akhir juga menguras banyak
energi dan pikiran. Kemudian keduanya di pertemukan untuk bersama-sama memutar
otak kembali agar pekerjaan rumah (PR) dapat dikumpulkan siswa besok pagi.
Dampaknya adalah emosi dan rasa kesal yang tiba-tiba muncul ketika pikiran kami
beradu dengan fisik yang tak lagi mendukung.
Sebuah
nasehat sederhana bagi sahabat pengajar lainnya. Jangan ambil resiko dengan
mengajar pada saat kondisi tubuh tidak memungkinkan. Selain itu usahakan untuk
beristirahat yang cukup sebelum waktu untuk mengajar. Misalnya saja bagi yang
mengajar di pagi hari memliki tidur malam yang cukup. Usahakan betul agar tidak
begadang. Bagi yang mengajar sore atau malam seperti saya, manfaatkan waktu
siang menjelang mengajar dengan merilekskan badan.
Kedua. Pada kondisi tertentu, hindari memberi
banyak soal yang sukar.
“Soal yg diberikan pada para siswa jangan disepelekan. Ia dapat
memantik keingintahuan, tapi juga dapat pula merusak nalar dan mental.” Begitu kata dosen kami, Pak Dwi Budianto
pada akun twitternya. Memang harus kita akui tidak semua siswa senang jika kita
beri pertanyaan. Apalagi jika soal tersebut cukup sulit untuk diketahui
jawabannya, membutuhkan waktu lama dan banyak jumlahnya.
Dalam
kasus yang saya alami, saat itu soal dari siswa yang disodorkan pada saya cukup
banyak. Belum lagi tipe soal uraian Fisika sering beranak-pinak. Misalnya, satu
soal memiliki butir pertanyaan a – d dan semuanya saling berkaitan satu sama
lain. Jadi, meski tertera ada 5 soal, namun sebenarnya pertanyaan yang harus
dijawab bisa mencapai 20 soal. Nah, bagaimana kalau soal dari guru saat itu
mencapai 20 belum lagi ada butir pertanyaan sampai poin “e”. Huh!
Bagi
rekan pengajar yang belum mempercayakan siswa bisa belajar secara mandiri
memang sebaiknya sering memberikan PR. Namun perlu untuk memperhatikan jumlah
dan tingkat kesulitannya. Bahkan untuk urutannya pun tidak luput harus kita
perhatikan. Selain mempertimbangkan kesesuaian urutan materi, tingkat kesulitan
sebaiknya diurutkan dari yang termudah hingga yang tersukar. Tujuannya adalah
membangun kepercayaan diri siswa saat mengerjakannya.
Ketiga. Berikan deadline yang tidak memberatkan siswa
Batas
waktu pengumpulan tugas seringkali menjadi hal yang menakutkan bagi siswa.
Banyak diantara mereka cukup kelimpungan mengatur waktu mengerjakan tugas suatu
mata pelajaran. Sebagian siswa saya rata-rata sering pulang lebih larut dari
siswa pada umumnya, karena memiliki aktivitas ekstrakulikuler, les pelajaran,
les kesenian bahkan bekerja sambilan. Belum lagi harus mengerjakan beragam
tugas sekolah dari mata pelajaran lainnya.
Jujur
saja, apa yang saya ceritakan di artikel sebelumnya, bukanlah kasus yang
pertama. Dengan deretan pertanyaan yang tidaklah sedikit, waktu pengumpulan
tugas yang ternyata sangat mepet. Pada kasus yang saya temui ini, si siswa
memiliki agenda ekstrakulikuler hingga sore. Sedangkan tugas yang tadi siang ia
dapatkan harus dikumpulkan pagi harinya. Bukankah ini sangat memberatkan.
Alhasil rasa frustasi ini terakumulasi menjadi emosi.
Jika
ada di antara kita yang berpikir tugas mereka memang untuk belajar, saya ajak
kembali ke topik seputar memahami. Mari kita lihat aktivitas siswa-siswa kita.
Apakah bijak jika tugas yang bertujuan membantu kepemahaman siswa dalam belajar
justru malah membenani mereka. Nah, kita yang selaku pengajar dan mengaku sebagai
sahabat siswa semestinya mengetahui kondisi mereka.
Demikian
apa yang saya pelajari ketika mendapatkan pengalaman “dimarahi” siswa. Tidak,
saya tidak menyalahkan si siswa. Sebagai orang yang memang seharusnya lebih
dewasalah yang harusnya lebih memahami. Jika telah mengetahui suatu kondisi,
maka dengan cepat harus menemukan solusi. Semoga apa yang telah saya alami bisa
dipetik sebagai pelajaran bagi sahabat pengajar semua. Selamat memahami !
Waaahhh. . . . artikelnya menarik sodara.
BalasHapusArtikel ini mengungkapkan kejengkelan siswa kepada guru dan sebagai pelajaran juga bagi kita sebagai calon guru untuk tidak menjadi "momok" bagi siswanya.
Untuk segi tata letaknya bagus sodara , tapii sisipkan jump break yaa. . .
biar kan terlalu panjang kalau baca di beranda.
:)
weeeeuww,, artikel ini menjelskan siswa yg marah pada gurunya,, menurutku wajar sii siswa marah pada gurunya,, selama dalam batas sopan dan kewajaran. Karna semua tidak sempurna,, guru juga perlu mndengarkan siswanya.. :)
BalasHapussangat cocok bagi kita calon-calon guru sodara..
BalasHapusagar kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi siswa yang bakalan marah sama kita..namun harus tetap menjaga kewibawaan kita sebagai seorang pendidik,agar tidak terjadi kekerasan.
tampilan blognya girly banget,.suka-suka :)